"Berikan aku 1000 orang tua, niscaya akan kucabut semeru dari akarnya, berikan aku 1 pemuda, niscaya akan ku guncangkan dunia"   (Soekarno)
Ungkapan yang dikemukakan Soekarno tersebut mengandung makna akan arti pentingnya peran pemuda. Melalui ungkapan itu juga kita disadarkan pada pemahaman bahwa peranan yang diusung oleh pemuda tidak boleh disepelekan. Bukanlah suatu ketidakmungkinan jika pemuda mampu membawa kemajuan bangsanya, bahkan menjawab segala persoalan-persoalan yang ada. Yang dibutuhkan hanyalah keyakinan, pemaknaan yang tepat dan proses yang terus menerus kepada setiap pemuda agar ungkapan tersebut terwujud secara nyata.

Definisi pemuda menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yaitu orang muda laki-laki; remaja; teruna. Sementara itu pasal 1 ayat (1) Undang-Undang No. 40 tahun 2009 tentang Kepemudaan mendefinisikan pemuda sebagai warga negara Indonesia yang memasuki periode penting pertumbuhan dan perkembangan yang berusia 16 (enam belas) sampai 30 (tiga puluh) tahun. Dari dua definisi tersebut, muncullah sebuah pertanyaan: “Definisi apakah yang benar-benar tepat untuk menggambarkan sosok pemuda?”. Sesungguhnya saya mengasumsikan bahwa arti pemuda tidak dapat dibatasi pada rangkaian kata-kata saja, sehingga memberi konsekuensi tidak terlalu pentingnya sebuah definisi untuk menggambarkannya. Pada dasarnya hampir semua orang berada pada pandangan yang sama bahwa pemuda adalah seorang generasi penerus bangsa, pemegang tongkat estafet kepemimpinan bangsa, insan yang mampu memberikan perubahan kepada bangsa, dan lain-lain. Pemaknaan demikianlah yang harus dimiliki oleh setiap pemuda kita sampai kapan pun, tak terbatas waktu dan perkembangan zaman. Namun, kini banyak dari pemuda-pemuda kita yang seolah-olah “amnesia” alias pura-pura lupa.

Ya, pemuda, hal yang nyaris terlupakan maknanya di tengah kesibukan sehari-hari. Untunglah kita mempunyai 28 Oktober sebagai peringatan Hari Soempah Pemoeda (Sumpah Pemuda-Red). Pada hari itu, kita kembali diingatkan tentang sejarah pemuda yang bersumpah untuk bangsanya dengan mempersatukan, mempererat, dan merapatkan barisan demi mempersiapkan kemerdekaan Indonesia. Perayaan dengan segala bentuk selalu menjadi penghias di hari itu. Mengangkat tema pemuda, semua organisasi yang mengatasnamakan kepemudaan berlomba menjadi terdepan di dalam memperingati Hari Sumpah Pemuda. Bahkan, tak sedikit pula dari mereka yang mengadakan diskusi-diskusi, orasi, perlombaan dan sebagainya untuk memperingati Hari Sumpah Pemuda. Media sosial  akan ramai dengan coretan selamat Hari Sumpah Pemuda. Maka, jangan heran jika Hari Sumpah Pemuda akan menempati posisi teratas/trending topic berbagai media sosial. Pada hari itu, seluruh elemen bangsa ini seakan-akan berada di satu titik apresiasi penghargaan terhadap pemuda.  


Namun, semua bentuk kegiatan tersebut mengantarkan kita kepada sebuah pertanyaan pokok: “Apakah Hari Sumpah Pemuda hanya terbatas pada seremonialnya saja? Atau apakah Hari Sumpah Pemuda ditujukan hanya kepada pemuda di masa lalu saja?” Apakah pemuda saat ini masih bisa “mengguncang dunia” seperti yang di ungkapkan Soekarno di awal tulisan ini?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, alangkah lebih baiknya kita tilik ke belakang mengenai sejarah Hari Sumpah Pemuda itu sendiri. Kita coba mengingat sejenak bagaimana status pemuda pada saat itu tidak menjadi penghalang untuk terus maju, bersatu dan berjuang untuk bangsanya.

Ingatan Masa Lalu Hari Sumpah Pemuda



Gambar 1: Hasil Kongres Pemuda II
Sumber: sapujagat.com

Lahirnya Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 tidak terlepas dari berdirinya Budi Utomo pada tanggal 20 Mei 1908 sebagai organisasi pergerakan nasional yang digerakkan oleh pemuda. Tidak berselang lama sesudah berdirinya Budi Utomo, segera diikuti dengan tumbuhnya organisasi kepemudaan, seperti Tri Koro Darmo (Jong Java), Jong Sumatranen Bond, Jong Minahasa, Jong Betawi, dan lain-lain. Keberadaan organisasi tersebut, selain dirasakan manfaatnya sebagai wadah pergerakkan kaum pemuda, juga dirasakan ekses negatifnya yaitu memunculkan sifat etnosentrisme [1].


Dari sinilah kemudian muncul kesadaran akan pentingnya persatuan organisasi-organisasi tersebut demi satu tujuan yang sama: Berjuang untuk bangsa Indonesia yang sedang terjajah saat itu. Untuk mewujudkan persatuan, pada 15 November 1925 mereka mengadakan kongres pemuda untuk membentuk panitia pelaksanaan kesepakatan bersama. Kemudian, pada 30 April 1926, organisasi-organisasi itu berkumpul dan membentuk rapat besar yang dikenal sebagai Kongres Pemuda I.

Dua tahun setelah itu, yaitu pada 27-28 Oktober 1928, organisasi-organisasi pemuda beserta mahasiswa, dan partai politik, berkumpul kembali dalam Kongres Pemuda II, dengan agenda utama mempersatukan dan mengobarkan semangat perjuangan dalam diri masing-masing peserta. Pada kongres inilah Sumpah Pemuda dideklarasikan, yang isinya antara lain ( dengan Ejaan Yang telah Disempurnakan):
  1. Kami putra dan putri Indonesia mengaku bertumpah darah yang satu tanah air Indonesia.
  2. Kami putra dan putri Indonesia mengaku berbangsa satu bangsa Indonesia.
  3. Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan bahasa Indonesia.








Sumpah Pemuda Kini dan Tantangannya di Era Digital

Sudah 87 tahun Sumpah Pemuda itu diikrarkan, dan sudah selama itu pula sejarah pemuda telah terekam dalam memori kolektif bangsa, melintasi perkembangan zaman. Kini, Sumpah Pemuda itu sedang berada pada era digital, sebuah era yang bagi kebanyakan orang disebut dengan istilah ‘tren masa kini’. Era digital ini telah mampu membawa perubahan secara besar-besaran dalam segala aspek kehidupan manusia. Bahkan gaya hidup saat ini sudah ter-digitalisasi-kan menjadi serba elektronik. Proses yang demikian merambah kepada setiap orang tanpa batasan usia, termasuk pemuda saat ini. Bahkan data menunjukkan bahwa Indonesia selalu menempati posisi atas dalam hal penggunaan teknologi informasi, berupa internet atau layanan media sosial. Adapun pengguna terbesarnya adalah dari kalangan usia muda/ pemuda.



Gambar 2: Pengguna Internet di Indonesia tahun 1998-2015
Sumber: BPS 2015





Gambar 3: Indonesia Snapshot
Sumber: US Census Bureau


Gambar 4: Data pengguna Facebook di Indonesia berdasarkan usia
Sumber: Ad Manager Facebook 2012



Dari data tersebut, dapat disimpulkan bahwa daya tarik pemuda Indonesia saat ini ada pada kecanggihan teknologi dan informasi. Hal ini bisa dipahami karena era digital mampu memberikan kemudahan-kemudahan, sekaligus kesenangan batin bagi siapa pun yang menggunakannya. Menjadi sebuah keniscayaan jika kita berusaha menghindarinya, karena faktor penentu keberhasilan bangsa saat ini juga ditentukan oleh penguasaan teknologi dan informasi. Barang siapa tidak ‘melek’ teknologi, merekalah yang akan tertinggal dalam persaingan yang semakin kompetitif.
Lantas, masih adakah daya tarik pemuda saat ini pada Sumpah Pemuda? Masih inginkah mereka berjuang demi Indonesia, atau pertanyaan yang lebih ekstrem: Masih Relevankah Sumpah Pemuda di Era Digital?

"Jangan mewarisi abu Sumpah Pemuda, tapi warisilah api Sumpah Pemuda. Kalau sekadar mewarisi abu, Saudara-Saudara akan puas dengan Indonesia yang sekarang sudah satu bahasa, bangsa dan tanah air. Tapi ini bukan tujuan akhir"
(Bung Karno, “Peringatan Hari Sumpah Pemuda ke-35”, 28 Oktober 1963)


Petikan kalimat pidato, sekaligus pesan yang disampaikan oleh Bung Karno tersebut adalah jawaban dari keragu-raguan pertanyaan sebelumnya. Ya, Sumpah Pemuda, baik dulu sampai sekarang masih relevan dengan kondisi bangsa Indonesia baik dahulu, sekarang, maupun di masa yang akan datang. Bahkan upaya untuk mempertahankan Sumpah Pemuda dapat didukung oleh kemajuan teknologi dan informasi yang tersedia di era digital seperti sekarang.
Akan tetapi, tak mudah memang untuk menyinkronkan antara Sumpah Pemuda dan Era Digitalisasi. Keduanya bagai sebuah anomali, tidak bisa dipisahkan tetapi saling bertentangan.

Kala Era Digital Menggeser Makna Sumpah Pemuda

Musuh terbesar pemuda saat ini bukanlah penjajah, tetapi dirinya sendiri. Sifat pemuda yang cenderung labil, tidak konsisten, dan sering kali ingin mencoba hal-hal baru sering kali membawa dampak negatif jika tidak dalam kontrol yang baik. Hal tersebut juga berlaku saat ia diperhadapkan pada kecanggihan teknologi dan informasi di era digital. Semua kecanggihan tersebut menjadi alasan bagi dirinya untuk hidup serba praktis, tidak mau ambil pusing, minim bertindak, dan keburukan-keburukan lainnya. Lebih jauh, Sudjoko mengatakan: “....maka yang dipersoalkan dewasa ini ialah kelesuan kaum muda yang seharusnya tidak lesu oleh karena hidupnya sebenamya sudah cukup tejamin" [2]. Sifat dan kondisi kelesuan pemuda tersebut, beliau ungkapkan menjadi sepuluh macam, yaitu: 


  1. lesu kerja; 
  2. senang bermalas; 
  3. mengutamakan hiburan; 
  4. bersemangat bangsawan; 
  5. lesu disiplin; 
  6. loyo otak; 
  7. mengabaikan mutu;
  8. takut mawas diri; 
  9. hidup dangkal; 
  10. segan mengabdi pada sesama.
Ambillah contoh saat bangsa ini dililit masalah akut: praktik-praktik ketidakadilan, ketimpangan, pembodohan, penindasan terhadap rakyat atas hak-hak yang dimiliki, dan masih banyak lagi. Banyak pemuda kita yang tidak terjun mengatasi permasalahan-permasalahan tersebut. Pedahal, dengan kemudahan informasi, permasalahan tersebut dapat dengan cepat dan tanggap diketahui. Satu-satunya langkah tepat sekaligus mulia baginya adalah dengan like, share, retweet, atau posting berita-berita tersebut lewat media sosialnya.Tindakan yang demikian dinamakan dengan click-activist (penulis dapatkan istilah tersebut dari Sekolah Aktivis Komune Rakapare). 






Gambar 4
Sumber: Dokumentasi Pribadi


Secara tidak langsung, pemuda Indonesia saat ini hanyalah komiditi teknologi yang telah dimusnahkan secara sistematis jiwa berjuang untuk tanah airnya. Ironis memang, ikrar suci Sumpah Pemuda tak dapat diaplikasikan dengan baik. Sumpah bertumpah darah yang satu terhadap tanah air Indonesia ibarat sebatas identitas tempat lahir saja pada Kartu Tanda Penduduk (KTP).

Bagaimana dengan sumpah berbangsa yang satu, bangsa Indonesia? Kenyataannya pemuda kita telah dihasut oleh beragam informasi mengenai sentimen kedaerahan, agama, warna kulit dan sebagainya. Akibatnya, sumpah berbangsa yang satu, bangsa Indonesia tersebut ternodai dengan sekat-sekat yang memisahkan.
Masih lekat diingatan saya bagaimana tindakan rasisme dilakukan melalui media sosial. (lihat juga : Ada Petisi Minta Pemerintah Tindak Rasisme di Internet )
Sumpah terakhir, berbahasa yang satu yaitu bahasa Indonesia pun turut menjadi korban kecanggihan teknologi informasi. Melalui pengamatan serta kuisioner yang pernah menjadi tugas penelitian saya (sayangnya bukti kuisinor tidak dapat saya tunjukkan karena sudah saya kumpulkan), data yang saya dapatkan dari 50 mahasiswa hampir setengahnya mengaku lebih percaya diri dan bangga jika menggunakan bahasa asing dalam keseharian. Sungguh data yang mencengangkan. Jika saja kita mengingat kembali peristiwa sumpah pemuda pada saat itu, hal yang indah saat para perwakilan organisasi daerah menyatakan kesediaannya untuk menyatukan diri dalam satu bahasa: Indonesia! Bukan bahasa asing.



Gambar 5:
Sumber: Dokumentasi Pribadi


Mari Kembali Memaknai Sumpah Pemuda di Era Digital!

Kebelum-berhasilan   kita   memaknai sumpah pemuda menyebabkan keterasingan pemuda Indonesia dari kehidupan nyata.  Maka perlu disadari lagi secara mendalam bahwa  Indonesia hanya butuh Sumpah Pemuda. Sebab, Sumpah Pemuda merupakan satu-satunya jalan untuk menggerakkan pemuda Indonesia.

Bangsa ini dianugrahi oleh Yang Maha Kuasa bonus demografi, terlebih piramida penduduk Indonesia menujukkan jumlah penduduk pemuda yang sangat banyak. Hal tersebut dapat menjadi peluang, sekaligus bencana jika tidak dapat dimaknai dengan baik. Janganlah sampai bangsa Indonesia memiliki pemuda yang manja di saat era digital, melupakan Sumpah Pemuda dan menempatkannya di sebuah lorong sunyi justru di tengah denyut kehidupan bangsa semakin hiruk-pikuk dengan segala permasalahannya.

Perkembangan teknologi dan informasi di era digital bukanlah musuh yang harus dijauhi asalkan penggunannya sesuai dengan daya guna dan tidak berlebihan. Kiranya pemuda kita dapat cerdas menyikapi, menerapkan dan memfilter segala produk digital agar tepat guna bagi bangsa ini. Dengan memadukannya dengan semangat Sumpah Pemuda, pastilah akan menambah keuntungan dan dalam hal efektifitas .Penulis sangat mengapresiasi salah satu kegiatan peringatan Sumpah Pemuda yang digagas oleh berbagai pihak dalam menginovasikan Sumpah Pemuda dengan teknologi beberapa waktu yang lalu (lihat juga: Hackathon Merdeka 2.0, wujud sumpah pemuda diera teknologi digital)

Selamat Berjuang Pemuda Indonesia!!!!


Tulisan dibuat secara orisinil, tanpa plagiatisme oleh Musa Oktavianus untuk mengikuti lomba Blog yang diadakan oleh ST3 Telkom Purwokerto



[1] Etnosentrisme adalah penilaian terhadap kebudayaan lain atas dasar nilai dan standar budaya sendiri. Etnosentrisme mungkin tampak atau tidak tampak, dan meski dianggap sebagai kecenderungan alamiah dari psikologi manusia, etnosentrisme memiliki konotasi negatif di dalam masyarakat. di tengah-tengah pluralistik.
[2] Andito (Editor), Menggusur Status Quo, Bandung: PT.Remaja Rosdakarya, 1998, hlm. 65.




Hiburan :)